Saturday, January 05, 2008

Universalitas Pluralisme Agama

(Sebuah Tanggapan dari Sebuah Tulisan Tentang "Isu di Balik Pluralisme")

"Kesatuan umat Islam" masih dapat merangkum dan mentolerir beberapa bentuk pergulatan politik sampai pada bentrokan bersenjata, karena orang-orang yang bertikai itu masih tetap menjaga loyalitas mereka kepada "negara yang satu". Mereka tetap menjaga kesatuan politik dan tetap loyal kepada "agama yang satu", sehingga mereka masih tetap menjaga faktor kesatuan agama. Peperangan mereka adalah semata karena "takwil (perbedaan memahami teks agama), bukan karena "tanzil" (teks agama yang berbeda yang diimani), dan mereka, meskipun melakukan peperangan, berada dalam loyalitas kepada kesatuan negara dan kesatuan agama.

Sebuah argumen yang bijak tentunya, jika kita simak dan pahami apa yang di ungkapkan oleh Dr. Muhammada Imarah di atas dalam konsep keberagaman berbangsa dan beragama. Kata perang yang menjadi instrumen utama dalam argument diatas bukan saja dilihat dari sudut sebuah kelompok yang berbeda, apakah itu kelompok agama ataupun kelompok politik yang bertingkai dengan alasan berbeda pandangan dengan kelompok yang lainya, tapi juga bagaimana dalam sebuah kelompok juga bisa terdapat sebuah peperangan walaupun mereka punya landasan yang sama dalam sebuah negeri yang sama pula. artinya apa? perang bukan hanya karena sebuah perbedaan yang tak terkendali, tapi juga bisa terjadi di wilayah yang perbedaannya ada dalam sebuah persamaan. Dari sinilah pluralisme hadir sebagai sebuah kerangka fikir untuk merangkul perbedaan untuk sebuah tujuan keadilan, dan mencoba meredam konflik akibat dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Ada kesan kita kadang terlalu alergi dengan konsep pluralisme yang muncul di permukaan era modernitas saat ini, padahal jika kita mau belajar dan mencermati lebih jauh maksud dari di hembuskannya pluralisme, tentu akan banyak pemahaman yang akan mengantarkan kita pada pemikiran yang lebih komprehensif dan membangun tatanan sosial.

Banyak Tokoh yang membahas konsep dasar dari pluralisme ini, terutama yang berkaitan dengan pluralisme agama-agama. Beranjak dari sebuah keprihatinan dari sebuah sikap fanatik beragama yang berlebihan yang bisa berakibat buruk dalam kehidupan umat beragama, bahkan mungkin akan membawa individu kedalam lubang ekslusivisme pemikiran sehingga menutup diri dari sebuah kemajuan peradaban madani. Perlu memang untuk di kaji apa yang menjadi isu sentral ketika konsep pluralisme ini harus menjadi Social Security" (Pengamanan Sosial) dalam tatanan hidup beragama.

Dalam konteks ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi (karen Amstronk). Pluralisme juga dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kelompok yang dinamis dan medernis. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Penulis mencoba untuk melihat pluralisme sebagai sebuah bentuk paham yang muncul dari sebuah kebutuhan akan adanya media pemersatu dalam kerangka pikir atau paling tindak mencoba untuk menyikapi berbagai macam bentuk perbedaaan dengan mengambil sisi-sisi universalitas persamaan manusia, hak atau kewajiban, apakah dalam konteks perbedaan agama ataupun berbangsa. Filosofi dari paham pluralisme tentu merupakan hasil perenungan yang berlandaskan akan nilai-nilai kebenaran yang lahir dari fitrah manusia sebagai manusia yang utuh(hanif).

Persoalan dari siapa dan kelompok apa yang menggulirkannya tentu tidak menjadi celah buat kita untuk menjadikan pluralisme sebagai paham yang harus di hindarkan dalam wacana persamaan dalam sebuah kemajemukan yang absolut. Yang menjadi entry poin adalah bagaimana pluralisme di jadikan sebagai kerangka fikir sekaligus formula awal untuk bagaimana manusia mencoba mentolerir realitas perbedaan menuju bingkai persatuan dalam heterogenitas yang kompleks.

Pluralisme Agama

Penulis menanggapi sedikit tentang ulasan yang di kemukan oleh Saudari Rahma Yazidah SKH tentang "Dibalik Isu Pluralisme" yang di muat oleh salah satu media harian di Batam. Satu hal yang menjadi catatan saya adalah ibu Rahma tidak mencoba memberi arti pamahaman pluralisme dalam skala pembanding (study comperatif) dari defenisi pluralisme itu sendiri, terlebih ketika pluralisme agama itu di kemukakan dalam sudut pandang Islam, maka akan sangat kurang sekali bumbu yang kita rasakan jika kita tidak memasukkan pandangan dari pada tokoh-tokoh Islam itu sendiri dalam mengartikan isu ataupun paham pluralisme Agama.

Membahas pluralisme berarti kita mencoba untuk menggali sisi-sisi humanistis sebagai individu ataupun kelompok yang terintegral dan mempunyai hak dan kewajiban yang sesama dalam hidup, termasuk hak dalam beragama dan berbangsa. Saya melihat ibu rahma tidak menelaah sisi ini sebagai sebuah realitas (sunnatulloh), yang menjadi pijakan dalam berbicara tentang pluralisme. Jika Islam ada sebagai sebuah agama, maka kita juga harus mengakui kristen, hindhu dan yang lainnya juga ada sebagai sebuah agama. Persoalan agama manakah yang benar tentu akan menjadi wilayah privasi masing-masing umat agama dengan Tuhanya. Adapun mengenai opini ataupun paham yang mengatakan semua agama benar dan tidak ada monopoli kebenaran saya pikir hanyalah sebuah kerangka pikir pluralisme yang subyektif dan sangat parsial sekali.

Mengapa demikian, jika pluralisme di masukan kedalam wilayah pembenaran (dalam pengertian iman ataupun prinsip-prinsip teologis masing-masing agama) akan semua keyakinan, kepercayaan agama-agama berarti kita sudah salah kaprah, atau terjebak pada perkembangan tafsir pemahaman pluralisme yang sempit. Dan ini tentu berhubungan dengan sejauh mana kita memahami serta mempunyai catatan dan referensi tentang pluralisme agama. Secara eksplisit, pluralisme agama hanyalah sebuah bentuk sikap kita terhadap perbedaan yang ada, yaitunya sikap toleransi dan rasa saling pengertian. Dan satu hal yang paling penting adalah pluralisme agama mengarahkan pembenaran terhadap agama-agama yang ada hanyalah dalam tataran dunia idea atau pemikiran, ini sabagai bentuk saling hormat dan menghargai persamaan hak dalam memeluk agama masing-masing. Inilah Sisi humanis atau paham kemanusian itu .Sederhana memang, tapi akan sangat sulit di pahami jika kita menutup diri dari pemikiran tentang pluralisme agama yang terus berkembang.

Seperti yang penulis sudah ungkapkan diatas, saya mencoba melihat pluralisme secara komprehensif dan tidak terjebak hanya kepada persoalan pembenaran-pembenaran agama, tetapi bagaimana pluralisme juga menjadi sebuah mediator dalam menggerakan demokrasi untuk tujuan keadilan dan harmonisasi dalam sebuah heterogenitas berbangsa. Saya mengutip pendapat Cak Nur yang mengatakan bahwa Pluralisme merupakan fondasi dalam membangun masyarakat demokrasi. Di dalam pluralisme itu dipertaruhkan sehatnya demokrasi, keterbukaan, dan keadilan. "Pluralisme bukan cuma mengakui hak kelompok lain, tetapi juga kesediaan berlaku adil bagi kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling pengertian.(cheli2@multiply.com).

Lebih lanjut Tokoh lain Islam dalam sebuah diskusi di Jakarta yaitu Mohammed Arkoun mengatakan menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Seterusnya Arkoun juga mengatakan Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.(http://media.isnet.org/islam)

Ungakapan di atas tentu akan sangat membuka ruang pikir kita terhadap pluralisme(agama), begitu luas dan mencakup aspek-aspek intelektualitas, filsafat, politik, demokrasi, dan tentu saja keadilan. Islam pada prinsipnya sudah memulai terlebih dahulu bagaimana pluralisme telah di wujudakan dalam bentuk sikap dan tindakan nyata. sebagaimana kita ketahui di zaman Rasulullah SAW, ketika kekuasaan politik di pegang oleh kaum muslimin di madinah, tapi mampu memberikan ketenangan kepada kaum lainnya walau hidup secara berdampingan melalui perjanjian yang di kenal dengan piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang juga dikenal oleh para sarjana modern sebagai "konstitusi Madinah". Suatu ajaran yang sangat menghargai kemanusiaan universal. Ini berarti, pluralisme itu sudah ada dalam Islam semenjak Islam itu sendiri ada. Nah ketika dalam perkembangannya Pluralisme itu muncul sebagai sebuah konsep toleran oleh pihak di luar Islam, kenapa harus kita alergi dan skeptis, dilema memang.

Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat-ayat secara tegas menjelaskan pluralitas sebagai kehendak Tuhan. Di antaranya disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal, menghargai dan membantu, tetapi kemudian yang mendapat predikat terbaik di dalam pluralitas tersebut adalah orang yang peling bertaqwa (QS.49:13). Pada tingkat selanjutnya al-Qur’an menegaskan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima secara positif, yang merupakan salah satu tanda kebesaran Allah (QS.30:22).

Jadi, dari sisi manakah Pluralisme agama bertentangan dengan aqidah Islamiyah? perlu kajian mendalam jika kita memaksakan vonis ini sebagai sebuah sikap bersama terhadap pluralisme agama. Terlebih apabila kesimpulan dari sebuah tujuan pluralisme agama adalah menghancurkan akidah islamiyah umat Islam. ini justru akan melahirkan riak-riak konflik baru dalam usaha manusia membagun sebuah peradapan yang aman dan nyaman. Yang pada akhirnya justru akan menempatkan Islam"itu sendiri dalam posisi yang camon enemy(musuh bersama) dimata perpolitikan dunia, tapi bukan ini yang menajadi the mean feature dari tulisan ini. terkhir, Lakum dinnukum waliadiin, agamamu bagimu dan agamaku bagiku. (Al Kafirun) Wallhu a'lam bi ash-shawab.***

Penulis adalah Rofi Adeka Putra Sarjana Sosial Islam
Koordinator Forum Community Integrity Hitherland Batam.



4 comments:

  1. --Pluralisme bukan cuma mengakui hak kelompok lain, tetapi juga kesediaan berlaku adil bagi kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling pengertian --
    Wah wah...dari dulu aku gak ngerti pluralisme nih..sekarang jadi tahu deh..thanks infonya ya frenz..

    ReplyDelete
  2. Wah...inget perjanjian hudaibiah ...Yang pentin Plural tapi tetap cerdas dan pintar(tidak bisa dibodoh2i)

    Btw. partisipasi untuk Batam Digital Island di http://batamdigitalisland.com/blog/?p=2879 yah

    Salam

    ReplyDelete
  3. All : trimakasih Partisipasiya :)

    ReplyDelete

Silahkan Tuan & Nyonya Tinggalkan Komentar dan Sarannya...

Powered by  MyPagerank.Net